“Aku gagal……”
“Aku udah nyoba sabar, tapi tadi tetap aja kebablasan marah”
“Aku udah berusaha maafin, tapi tiap denger namanya hati masih nyesek”
“Aku udah coba ikhlas, tapi luka ini belum juga sembuh.”
Kadang, ada suara kecil di hati yang terus menghakimi diri dan bikin kita ngerasa gak cukup baik. Kita terus menyeret diri sendiri ke kesempurnaan spiritual. Seolah jadi Muslim itu harus ideal di segala sisi sekaligus. Harus sabar, ikhlas, pemaaf ke orang lain, lembut ke orang tua, dermawan, pinter ngaji, rajin ibadah, sering puasa, gak pernah absen sholat malem. Padahal Allah gak pernah nuntut kita buat sempurna hari ini juga.
Pernah ada sahabat Nabi yang bertanya, “Amalan apa yang paling baik?”—Dan kamu tau? Rasullah ﷺ itu gak jawab dengan satu jawaban yang seragam! Ada yang dijawab dengan “sholat tepat waktu”, dengan “belajar Al Qur’an dan mengajarkannya”, dengan “memberi makan”, ada pula dengan “haji mabrur”.
Kenapa bisa beda-beda?
Karena Rasulullah ﷺ melihat kondisi, potensi, dan kebutuhan setiap individu. Ada yang lebih butuh nasihat soal sabar, ada yang lebih cocok jadi mujahid, ada yang punya kesempatan lebih besar dalam sedekah. Jadi, gak semua orang harus menjalani semua amalan dalam porsi yang sama. Masing-masing dari kita bisa fokus pada amal yang paling relevan dan kuat dalam diri.
Secara ideal, makin banyak amal shalih yang dilakukan, tentu makin baik. Yap. Itu jelas. Tapi dalam praktiknya, Islam itu gak nuntut kita jadi Manusia Super 💪🏻 yang bisa ngelakuin semua amalan sekaligus dalam kapasitas maksimal.
Amalan itu bisa kita pahami dalam tiga kategori:
- Wajib >> yang harus dilakukan semua orang: salat 5 waktu, puasa Ramadhan..
- Utama tapi fleksibel >> bisa dipilih sesuai dengan potensi kita, misalnya sedekah, menolong orang lain, puasa sunnah..
- Spesialisasi >> sebagian orang lebih unggul di bidang tertentu, seperti bakat di ngajar, kuat dakwah, ahli di filantropi, effortless di nulis, dsb.
Kita bisa ngejalanin yang wajib, terus sisanya bisa diprioritasin sesuai dengan kapasitas dan kekuatan diri kita.
Kamu inget? Di surah Al Mu’minun, Allah bahkan menyusun ciri-ciri pewaris surga Firdaus. Apakah tandanya.. kita harus langsung punya semua karakter itu sekarang juga?
Kalo bisa, yaa silakan aja. Tapi ayat itu sejatinya bukan ceklis yang harus kita centang hari ini, melainkan peta perjalanan menuju kesempurnaan iman. Satu aspek bisa kita perkuat dulu, terus pelan-pelan bertahap ke aspek lainnya. Kalo gagal, yaa gapapa.. kan lagi belajar. Pembelajaran terbaik datangnya dari pengalaman. Ini tuh cuma bagian dari sisi spiritual kita yang lagi berproses. Kalo sempet patah, yaa gapapa juga, asalkan tetap melangkah. Jangan sampe kesalahpahaman buat ngelakuin segalanya flawlessly and effortlessly, bikin kita jadi spiritual burnout.
Allah itu Maha Sempurna, tapi menariknya, Dia nggak pernah sekalipun menuntut kesempurnaan dari hamba-Nya. Allah cuma pengen kita berusaha jadi lebih baik, di setiap kesempatan, setiap momen, dan setiap ujian.
Satu hal yang harus kita pahami saat kita ngerasa sulit, adalah segala hal yang tinggi, jalannya selalu mendaki. Jadi wajar banget kalau kita ngerasa berat buat ngelakuin hal-hal ini karena jalan kita emang lagi nanjak.
Dalam sayyidul istighfar pun tanpa sadar kita sering ngaku, “Ya Allah, Engkau Tuhanku, tiada Tuhan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku memegang teguh janji-Mu, sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku. Aku mengakui banyaknya nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah aku. Karena sesungguhnya tiada yang sanggup mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau.“
Itulah yang Allah minta: Kemampuan terbaikmu hari ini!
So sahabat.. kamu emang ga sempurna, tapi kamu selalu disayang sama Yang Maha Sempurna ❤️. Kita nggak harus bisa semua dan jago segalanya. Berjuang aja di hal-hal yang wajib, utama, dan yang paling dekat dengan hatimu. Karena boleh jadi, amalan favoritmu lah yang menjadi jalanmu ke Surga. 🥺