Allah pernah memberiku sebuah hadiah..
Beberapa tahun yang lalu..
Sebuah hadiah yang tak pernah ku sangka-sangka
Keindahannya, kenyamanannya, kedamaiannya..
Awalnya diri ini ragu untuk menerimanya
Ketika terlintas bisikan suara-suara hati yang sangat pelan.. semakin pelan dan nyaris tak terdengar..
Dan perlahan-lahan menghilang karena aku yang tak berusaha mendengarnya.
Aku membukanya.
Betapa terkejutnya! Aku sangat-sangat menyukainya.
Betapa hadiah itu cocok dengan segala hal yang ada pada diriku..
Karakterku, kepribadianku, latar belakangku, kondisiku, bahkan kelemahan kelebihanku..
Aku merasa ini merupakah hadiah terindah yang pernah ku dapatkan dalam hidup.
Lambat laun, waktu membuatku jatuh cinta pada hadiah itu.
Segala pikiranku, isi hatiku, kekhawatiranku, bangun tidurku, sebelum tidurku, semua tertuju padanya.
Dan terus menerus cinta itu membesar dan membesar, bahkan melebihi cinta yang seharusnya hanya ditujukan kepada Sang Pemberi Hadiah.
Lambat laun.. kecintaan itu bermetamorfosa secara tak kasat mata.
Sungguh tak kusangka, ia telah menyamar secara lihai..
Menjadi sesosok kelalaian.
Aku terlena.
…
Seketika aku menyadari bahwa sebenarnya..
Ada hal yang ditukar dari kenikmatan itu!
Berbahaya! Pertukaran ini sungguh mengandung satu bahaya besar! Aku tak rela jika hal ini yang ditukar. Aku takkan pernah rela. Aku paham.. kesadaran ini tak lain sebagai bagian dari sebuah tes yang dirancang-Nya untuk melihat apa yang akan aku lakukan tepat ketika aku menyadarinya.
Dengan berat hati, dengan berbagai resiko terpatri, dengan segala bulir air pada pipi, aku memutuskan untuk mengembalikan hadiah itu pada Pemberi. Juga tak ketinggalan berharap, bahwa diri yang fakir hadiah menunggu hadiah pengganti di lain hari. Aku tahu, ia Raja Segala Materi yang ada pada bumi.
Akupun yakin.. ketika menukarnya, Ia pasti akan menggantinya dengan yang jauh lebih baik lagi..
Sejuta pertanyaan berlari-lari dalam pikiran dan hati;
apakah bahaya ini nyata adanya? atau hanya angan-angan saja?
Pertukaran inipun ternyata menjelma menjadi krikil yang melukai pijakanku yang sedang berusaha berdiri tegar.
Ternyata pertukaran ini tak semudah yang ku bayangkan!
Kian kemari, aku merasa Si Pemilik semua Hadiah yang ada di dunia ini malah menjauhiku, mengabaikannku. Aku tak mengerti..
Adakah sesuatu yang salah?
Bukankah aku telah membuat keputusan yang tepat?
Bukankah semua yang ku lakukan ini untuk-Nya?
Aku berpikir keras. Sekeras-kerasnya.
Aku mengamati sekitar, setajam-tajamnya.
Aku mengintropeksi diri, sedalam-dalamnya.
Dan akhirnya.. 1 penyebabpun terdeteksi.
Ternyata..
Aku BELUM MENGEMBALIKAN hadiah itu sepenuhnya!
Ternyata.. bekas-bekas hadiah itu masih ada dan menempel di hati ini.
Tentulah siapapun, tak terkecuali si Pemberi ini, merasa kecewa karena aku menyerahkan milik-Nya tidak seutuhnya. Ketika aku menerimanya dengan tangan kosong, akupun harus mengembalikannya dengan kondisi tangan yang sama – agar Ia tahu, bahwa aku benar-benar ridho mengembalikannya.
Ibarat sebuah gelas kaca, sisa-sisa hadiah itu bagaikan noda yang membekas pada sisi-sisi gelas. Begitu kuat tertempel seperti halnya noda getah buah kopi dan kunyit yang menempel pada tepi-tepi gelas.
Tanpa pembersihan yang tepat, wadah ini takkan pernah kembali sebening kristal, takkan pernah menampakkan sebenar-benarnya warna isi gelas, takkan seindah sebagaimana awalnya ia diciptakan, takkan pernah tertembus cahaya pula.
Gelas yang menipu!
Iya. Bahkan, mengisinya dengan sesuatu yang beningpun membuatnya tetap tidak bening dari luar.
Lalu sekarang, bagaimana aku mengembalikan sisa-sisa hadiah yang membekas pada dinding hati ini? Lekatannya begitu kuat dan aku letih membersihkannya.
Tak lama, kesadaranku semakin sempurna..
Aku teringat bahwa memang tak ada yang dapat membersihkannya, kecuali dengan sesuatu yang fitrahnya sama. Kini, aku perlu mencari sabun. Sabun yang memang diciptakan untuk gelas ini. Yang dapat menyucikan gelas ini sebersih-bersihnya, yang dapat membuatnya tembus cahaya lagi..
Dan kini aku kembali, pada sesuatu yang suci dan menyimpan banyak cahaya..
Al Quran.