Sejarah Ngafal Ngefeel

Kadang, perjalanan paling bermakna justru lahir dari kegelisahan yang paling sederhana..
Seperti perjalanan ini.

Kala itu, sang inisiator, Siti, tengah mengikuti sebuah program tahfidz di mana ia melihat pemandangan yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Di sana ia menyaksikan banyak kegelisahan dan tekanan di balik semangat para pesertanya. Menurutnya, waktu yang sempit, target yang terlalu tinggi, sistem balapan, semua inilah yang sering menjadi penghalang untuk merasakan nikmatnya berinteraksi dengan Al-Quran.

“Ambis gak karuan tanpa ngeliat kemampuan diri, ngebanding-bandingin diri sama orang lain yang start berqur’an dan latar belakangnya beda.. pada akhirnya semua ini hanya akan melahirkan kekecewaan, pesimis, kesal dan cape…. Bahkan lebih parahnya lagi, ‘trauma ke Qur’an’. Sedih banget.. Harusnya Qur’an gak bikin give up kayak gini!” Keluh Siti.

Berqur’an tanpa hati, itulah keresahan yang ia liat dan alami selama ini. Ada yang menghafal karena paksaan orang tua, tuntutan sekolah, tekanan guru, mengejar sertifikat, mengejar syarat beasiswa S2, bahkan ada juga untuk citra sosial seperti image “religious” sebelum nikah. Di hatinya justru timbul sebuah tanya: “Kenapa banyak orang semangat menghafal, tapi justru terasa jauh dari Qur’an itu sendiri?” Semua ini baginya bukanlah esensi dari menghafal Al Qur’an.

Sepulang dari dauroh, bersama sahabatnya, Dian, mereka membuat program kecil yang awalnya didedikasikan untuk mengisi kegiatan positif di masa isolasi (lockdown) pertama 2020 secara daring. Bersama remaja di sekitarnya, mereka memulai perjalanan pertama menghafal surah Luqman—surah pertama yang ingin dimurojaah seusai dauroh. Di program itu juga, Siti mencoba memperbaiki segala sistem yang selama ini membuatnya resah.

Akhirnya pada Maret 2020, lahirlah sebuah gagasan yang kini dikenal dengan nama Ngafal Ngefeel—sebuah program menghafal Qur’an yang bukan sekedar mengejar ayat, tapi juga merasakan maknanya. Di NN, setiap ayat tidak hanya di hafal, tapi juga dipahami, dimaknai, dirasakan dan dihayati sampai ke hati.

Prinsipnya sederhana: quality over quantity. Satu, dua ayat tak masalah, asal istiqomah. Konsistensilah yang ditekankan setiap hari. Setiap ayat dikupas maknanya dengan bahasa yang ringan, disertai ilustrasi yang menarik dan podcast yang membantu peserta merasakan isi al quran dengan cara yang segar dan lebih membekas.

Tak cukup sampai situ, sistem disiplin, ketepatan waktu, dan rasa kekeluargaan juga membuat programnya cukup digemari. Di NN, setiap peserta diajak menghadirkan rasa. Mereka menyelami makna ayat, menemukan cerminan diri di dalamnya dan menjadikannya bekal hidup. Berdasarkan observasi dan survey yang diambil dari angkatan ke angkatan, cara seperti ini terbukti lebih disukai karena memberikan kenyamanan dan menghasilkan efektifitas yang baik.

“Buatku, NN itu bukan cuma program, tapi cara baru untuk mencintai Al-Qur’an. Ini tuh… kayak realisasi program Qur’an idaman aku. Karena aku nggak nemu yang kayak gini sebelumnya, that is why I set out one.” Tambahnya.

Kini, manfaat NN telah menjangkau luas dari lintas kota, bahkan lintas negara. Ratusan alumni dari berbagai latar belakang, usia dan profesi, tumbuh bersama visi yang sama: menjadikan Al Qur’an sebagai sahabat hidup.

Bersama timnya, ia ingin menjadikan Al-Quran kitab yang lebih akrab. “Harapannya satu, kami cuma pengen orang-orang ngerasa Quran itu sesuatu yang deket, relevan dan bikin nyaman. Besar harapan kami untuk menghidupkan Quran di hati anak-anak muda. Menjadikan itu secandu entertainment. Seasik scrolling. Senyaman rebahan. Pedoman yang benar-benar nyata, yang nantinya akan menjadikan mereka sosok Quran yang berjalan di akhir zaman. ujar citanya.

“Berjalan di atas bumi sambil menebar akhlak Qur’an… bukankah itu akan membawa banyak kebaikan bagi dunia ini?” Ungkapnya menutup.

Berqur’an bukan ajang keren-kerenan di mata manusia karena ia terlalu mulia tuk sekedar dilombakan.
Al-Qur’an juga bukan alat untuk saling meninggi, mendebat, menunjuk dan saling menjatuhkan.
Al-Qur’an juga terlalu agung untuk sekedar ritual ceremonial yang pembacaan dan konsentrasinya cuma ada disana. Al-Qur’an itu miracle! Mukjizat! yang seharusnya dapat merendahkan hati kita semua. Suatu Kitab Hidayah yang seharusnya saat dibuka, dipelajari dan dihafal, yang kita dapatkan ialah hidayah.
Disebutnya aja “Kalamullah” berarti seharusnya yang harus selalu diingat adalah ‘Allah’. Bukan ambisi duniawi yang seringnya jadi konsentrasi.

Inisiator NN